Kebiasaan Berbahasa Salah Kaprah, Sulit Kembali Kepada Kaidah

Kebiasaan Berbahasa Salah Kaprah, Sulit Kembali Kepada Kaidah


Telah kita ketahui bersama bahwa bahasa Indonesia dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbudaya, dan bernegara sebagai suatu bangsa mempunyai kedudukan ganda, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa resmi atau bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dipersembahkan oleh para pemuda perintis kemerdekaan dari generasi 1928 sebagai butir ketiga dari sumpah nasionalnya yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda dengan pernyataan “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Adapun kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi atau bahasa negara dipancangkan oleh tokoh-tokoh penegak kemerdekaan dari generasi 1945 dengan secara eksplisit mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara pada pasal 36 Bab XV UUD 1945. Bunyi pasal 36 ini “ Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”.
Pernyataan tentang kedudukan bahasa Indonesia seagai bahasa nasional dan bahasa negara pada kedua dokumen resmi tersebut di atas merupakan warisan nasional yang tak ternilai harganya bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu dapat dipahami kalau pemuka-pemuka bangsa kita dari generasi pengisi kemerdekaan melengkapi kedudukan bahasa Indonesia dengan lingkup serta jabaran fungsinya. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional,  fungsi bahasa Indonesia sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya/antardaerah. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, fungsi bahasa Indonesia sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, (3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan, dan (4) bahasa resmi di dalam  pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Bertolak dari fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, maka dalam situasi resmi kita seyogyanya menggunakan bahasa Indonesia baku (standar), yaitu bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar. Teks-teks pidato resmi kenegaraan, teks-teks peraturan perundang-undangan, surat-surat keputusan, dokumen-dokumen resmi kenegaraan, surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaganya harus menggunakan bahasa Indonesia baku (standar). Demikian pula dalam tulisan-tulisan ilmiah, seperti makalah, skripsi, tesis, dan laporan penelitian, dan dalam lembaga-lembaga pendidikan mulai dari PAUD sampai dengan perguruan tinggi hendaknya menggunakan bahasa Indonesia baku.
Meskipun bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara  sudah berlangsung selama 70 tahun, namun fakta di lapangan masih menunjukkan adanya beberapa pemakaian bahasa Indonesia yang menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia yang benar, terutama penggunaan bentuk-bentuk bahasa salah kaprah.
Salah Kaprah
            Kata salah kaprah sudah sering kita dengar. Secara leksikal, salah kaprah artinya kesalahan yang umum sekali sehingga orang tidak merasa salah kalau menggunakannya. Salah kaprah dalam kebahasaan disebabkan oleh (a) ketidaktahuan pemakai bahasa terhadap kaidah bahasa Indonesia yang benar, (b) pemakai bahasa terlalu mempertahankan gengsi atau prestise, bentuk bahasa yang digunakan telah diyakini kebenarannya padahal menyalahi kaidah, (c) adanya rasa ketidakpedulian terhadap bahasa Indonesia, (d) adanya intervensi dari bahasa daerah atau bahasa asing, dan (e)  terpengaruh dialek.
Sampai saat ini di kota-kota besar maupun di kota-kota kabupaten, kita masih menjumpai kata apotik. Apotik merupakan bentuk salah kaprah, seharusnya apotek karena ada bentuk apoteker bukan apotiker.
Bila kita amati, masih banyak dokter dan notaris yang memasang papan nama menggunakan kata praktek. Bahkan masih ada guru IPA dan olahraga yang mengatakan, “ Praktek di laboratorium IPA”. “Praktek olahraga di lapangan.  Ini merupakan bentuk salah kaprah. Yang bakupraktik. Karena ada bentuk praktikum bukan praktekum.
Demikian pula pada papan nama tersebut para dokter masih banyak yang menggunakan gelar akademiknya dengan menyingkat “Dr.”. Padahal seharusnya “dr.” , menggunakan /d/ kecil, karena “Dr.” singkatan dari doktor bukan dokter.
            Pada papan pengumuman penerimaan siswa baru di suatu sekolah atau pengumuman penerimaan karyawan pada perusahaan tertentu kita sering membaca kata legalisir. Kita juga sering mendengar ucapan seorang siswa yang telah lulus dari suatu sekolah, “Pak, saya maulegalisir ijazah.” Kata legalisir merupakan bentuk kata salah kaprah. Bahasa  Indonesia tidak mengenal akhiran –isir. Yang ada akhiran –isasi. Jadi, yang baku legalisasi.
            Di lingkungan sekolah kita masih sering menemui kata ketrampilan, lapor / raport, dan jadual. Yang baku keterampilan, rapor, danjadwal.
            Kita masih sering menemui bentuk-bentuk gabungan kata seperti : ekstra kurikuler, non akademik,  nara sumber, sub rayon, multi media, antar kelas. Sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai. Jadi, yang baku ekstrakurikuler, nonakademik, narasumber, subrayon, multimedia, antarkelas.
            Bentuk-bentuk kata salah kaprah yang lain (a) Nopember seharusnya November, (b) Pebruari seharusnya Februari, (c) hakekatseharusnya hakikat karena ada bentuk hakiki, (d) nasehat seharusnya nasihat, kata ini diserap  dari bahasa Arab yang tidak mengenal  vokal /e/, yang ada /i/  atau kasrah, (e) Senen seharusnya Senin, (f) Jum’at seharusnya Jumat, (g) prosen, prosentase seharusnya persen, persentase(h) kuwatir seharusnya khawatir, (i) sistim seharusnya sistem, dan (j) tehnik seharusnya teknik.
            Kita sering melihat bentuk kata kembar seperti (a) merubah, merobah, mengubah, (b) berutang dan berhutang, (c) mensukseskan dan menyukseskan, (d) menterjemahkan dan menerjemahkan , (e) mempublikasikan dan memublikasikan, (f) mengkonfirmasikan dan mengonfirmasikan. Bentuk kata yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia adalah (a) mengubah, karena kata dasarnya ubah mendapat awalan me-, bentuk ini hampir sama dengan (b) yang baku berutang karena kata dasarnya utang mendapat awalan ber-. Sedangkang (c), (d),  (e), dan (f)  yang baku menyukseskanmenerjemahkanmemublikasikan, dan mengonfirmasikan karena kata dasar yang diawali konsonan /k/, /p/, /t/, /s/ bila mendapat awalan me- menjadi luluh.
Bentuk kata salah kaprah yang sering kita jumpai di waktu jual beli misalnya kwitansi, kwintal, kwalitas seharusnya kuitansi, kuintal, dankualitas.
            Baru saja kita memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Di jalan masuk kampung, desa, kecamatan, kabupaten, depan balai desa dan gedung pemerintahan kita masih menjumpai tulisan “ DIRGAHAYU HUT RI KE 70”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirgahayu maknanya panjang umur, sehingga yang benar “DIRGAHAYU RI BER-HUT LXX” atau HUT RI KE-70” atau “DIRGAHAYU KEMERDEKAAN RI”. Yang kita doakan agar panjang umurnya itu negara kita yang berhari ulang tahun ke-70, bukan hari ulang tahunnya. Atau, kita doakan agar kemerdekaan yang telah kita miliki itu panjang umur, tidak dijajah bangsa lain lagi. Penulisan kata bilangan tingkat KE 70menyalahi kaidah, yang benar KE-70 menggunakan tanda hubung (-) atau memakai angka Romawi saja tanpa “ke” di depannya. Bisa juga ditulis dengan huruf ketujuh puluh.
Dalam surat pribadi maupun surat resmi kita masih sering menjumpai bentuk-bentuk bahasa salah kaprah. Penulisan alamat surat yang diawali dengan kata kepada memang sudah membudaya, tetapi tidak benar. Alamat surat tidak diawali dengan kata kepada  karena siapa saja sudah mengetahui bahwa alamat yang ditulis itu adalah alamat yang dituju. Selain itu, kata kepada berfungsi sebagai kata penghubung intrakalimat yang menyatakan tujuan, sehingga alamat surat tidak diawali kata kepada. Alamat yang dituju diawali dengan “Yth.” (diikuti satu titik) atau “Yang terhormat” (tanpa titik). Berkaitan dengan alamat surat ini, bila kita cermati masih banyak bentuk-bentuk salah kaprah. Penulisan singkatan dengan alamat seperti ini “d/a”, menurut Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah “d.a.”. Contoh-contoh singkatan lain yang belum benar, misalnya a/n (atas nama) seharusnya a.n., s/d (sampai dengan) seharusnya s.d., u/b (untuk beliau) seharusnya u.b..
            Pada waktu mendengarkan pidato kita masih sering mendengar ucapan para hadirin sekalian. Ini merupakan bentuk salah kaprah. Yang benar hadirin tanpa para dan sekalian, karena hadirin bermakna semua orang yang hadir. Hadirin berasal dari kata hadir mendapat akhiran –in. Akhiran –in merupakan akhiran yang berasal dari bahasa Arab, yang artinya jamak untuk laki-laki. Contoh lain kata muslimin. Mengingat hadirin sudah menyatakan jamak, maka tidak perlu diikuti para yang menyatakan jamak, dan juga tidak perlu diikuti sekalian yang berarti juga jamak, agar tidak terjadi jamak tiga kali. Yang kedua, para bapak-bapak dan para ibu-ibu. Kata para sudah mengandung arti jamak. Kata yang sudah jamak tidak perlu diikuti kata benda ulang karena kata benda yang diulang juga menunjukkan makna jamak. Kalau terjadi seperti itu, penjamakan menjadi ganda. Yang ketiga, banyak-banyak terima kasih, seharusnya banyak terima kasih, karena banyaksudah menyatakan makna jamak, tidak perlu diulang.
Kita pernah mendengar orang berpidato mengucapkan kata menghaturkan. Kata menghaturkan digunakan orang karena dianggap lebih sopan dan takzim, seperti halnya dalam bahasa Jawa atau Sunda. Anggapan ini tidak tepat karena bentuk baku dalam bahasa Indonesia adalahmengucapkan.
Sering pula kita mendengar pembawa acara mengatakan, “Acara selanjutnya sambutan dari Bapak …, waktu dan tempat kami persilahkan.” Kalimat “ waktu dan tempat kami persilahkan,” termasuk kalimat yang tidak logis karena ide kalimat itu tidak dapat diterima oleh akal sehat. Jalan pikiran pembawa acara itu kacau. Kita menyadari bahwa waktu dan tempat tidak mempunyai kaki, mengapa dipersilakan, aneh bukan? Mestinya, “ Acara selanjutnya sambutan dari …, Bapak … kami persilakan. “ Atau, waktu dan tempat kami serahkan.” Bentuk “persilahkan”juga belum benar. Yang benar “persilakan” tanpa /h/ karena berasal dari kata dasar sila bukan silah.
Ada penutur bahasa mengucapkan saling hormat-menghormati, saling tolong-menolong, saling maaf-memaafkan. Ini merupakan bentuk salah kaprah. Seharusnya, saling menghormati atau hormat-menghormatisaling menolong atau tolong-menolongsaling memaafkan ataumaaf-memaafkan, karena hormat-menghormati, tolong-menolong, dan maaf-memaafkan sudah menyatakan arti saling sehingga tidak perlu ditambahi saling.
Bila dicermati bentuk-bentuk bahasa salah kaprah masih banyak, tetapi tidak mungkin dipaparkan secara keseluruhan dalam tulisan ini.
Pembinaan Sikap Positif
Warisan  nasional yang berupa pernyataan tentang kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia seperti terurai di muka besar kemungkinannya akan menjadi slogan-slogan belaka, jika tidak diikuti dengan tindak bina yang mengena. Sadar akan terjadinya kemungkinan yang demikian itu maka perlu adanya pembinaan sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Dengan harapan agar pemakai bahasa Indonesia merasa bangga memiliki dan menggunakan bahasa Indonesia, mempunyai rasa hormat terhadap bahasa Indonesia, dan merasa prihatin terhadap perlakuan-perlakuan yang kurang pada tempatnya terhadap bahasa Indonesia.
Kegiatan-kegiatan yang relevan  dengan pembinaan sikap positip terhadap bahasa Indonesia antara lain sebagai berikut.
Pertama, pemakai bahasa Indonesia hendaknya mengamati penampilan model penutur bahasa Indonesia lewat media massa, seperti misalnya lewat televisi, radio, surat kabar, majalah, dam macam-macam publikasi lainnya. Hasil pengamatan ini akan merupakan stimulans yang sangat kuat untuk bertingkah tutur seperti model itu.
Kedua, hendaknya para pejabat dari tingkat tertinggi sampai ke yang terbawah menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tindakan ini perlu sekali dilaksanakan karena pemakaian bahasa dan sikap bahasa pemimpin memainkan peranan yang menentukan dalam setiap pembinaan bahasa. Jika presiden misalnya, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pidato-pidatonya serta berpartisipasi dan mengintegrasi diri dengan kegiatan-kegiatan pembinaan bahasa Indonesia, maka dengan amat cepatnya rakyat akan mengikutinya.
Ketiga, mengembangkan acara-acara bina bahasa pada peringatan Hari Sumpah Pemuda. Sehubungan dengan ini agaknya tepat sekali kebijaksanaan yang diambil oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadikan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa, yaitu bulan kegiatan nasional kebahasaan yang diadakan dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda.
Sumber Tulisan : SUPARNI, M.Pd.
Kebiasaan Berbahasa Salah Kaprah, Sulit Kembali Kepada Kaidah Kebiasaan Berbahasa Salah Kaprah, Sulit Kembali Kepada Kaidah Reviewed by Mabrur Muhammad on September 06, 2016 Rating: 5

2 comments:

  1. iya gan, seharusnya kita harus memakai kata yang benar menurut KBBI dan EYD :D

    ReplyDelete

Powered by Blogger.